Hari itu hari raya Idul Fitri. Semua penduduk Madinah bergembira. Anak-anak bersuka cita. Berlari ke sana kemari dan bermain dengan tawa mengiringi. Namun, tidak demikian dengan seorang anak perempuan di sudut jalan. Ia tampak bersedih, dengan pakaian lusuh, sepatu usang dan rambut acak-acakan.

Melihat pemandangan yang menyayat hati itu, Rasulullah bergegas menghampirinya. Tapi gadis kecil itu justru menangis dan menutup wajahnya dengan tangan.

“Anakku, mengapa engkau menangis? Hari ini hari raya bukan?” kata Rasulullah sambil mengusap kepala bocah itu.

Ia masih menangis, tapi pelan-pelan tangisnya mereda. Ia belum berani melihat siapa orang yang menghampirinya. Ia bercerita sambil menundukkan kepalanya.

“Iya, ini hari raya. Semua anak ingin merayakannya bersama orang tua. Bergembira bersama, bahagia bersama. Aku teringat ayahku yang telah tiada. Di hari raya terakhir bersamanya, ia memberikan baju dan sepatu baru kepadaku. Namun setelah itu ia berperang bersama Rasulullah lalu syahid. Sekarang aku anak yatim. Tidak bolehkah jika aku menangis?” kata anak itu mengundang iba Rasulullah. Beliau merasakan betul kesedihan anak yatim itu.

YSR BERBAGI…..

“Nak, hapuslah air matamu,” kata beliau sambil mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, “Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu… Apakah engkau mau aku menjadi ayahmu? Apakah engkau mau Fatimah menjadi kakakmu…. dan Aisyah menjadi ibumu…. Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?”

Mendengar itu, anak yatim tersebut berhenti menangis. Ia mengangkat kepalanya dan melihat bahwa orang di depannya adalah Rasulullah. Ya, itu Rasulullah. Masya Allah… ia tak bisa berkata apa-apa kecuali hanya menganggukkan kepalanya.

Ia kemudian menggandeng tangan Rasulullah dengan penuh kebahagiaan. Kini ia merasa tak yatim lagi. Bahkan ia kini memiliki ayah terbaik di muka bumi.

“Akhirnya aku memiliki seorang ayah,” kata gadis kecil itu. Saat ditanya teman-temannya mengapa ia terlihat sangat bahagia, jauh berbeda denga hari-hari sebelumnya. Dengan bangga ia menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak bahagia. Aku kini tidak yatim lagi. Dan siapa yang tidak bahagia memiliki Rasulullah sebagai ayahnya, mendapati Aisyah sebagai ibunya, dan punya Fatimah sebagai kakaknya?”

Demikianlah Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk berbagi kebahagiaan. Demikianlah Rasulullah mengajarkan umatnya untuk mengasihi anak yatim. Demikianlah Rasulullah mengajarkan untuk menyayangi anak-anak pejuang fi sabilillah.

Islam bukan agama untuk dinikmati secara pribadi. Islam bukanlah agama yang menghimpun kebahagiaan hanya untuk diri sendiri. Islam adalah agama yang membawa kedamaian hati sekaligus mengatur kehidupan agar damai di dunia dan di akhirat nanti. Islam bukan hanya memberikan ketenangan bagi jiwa, tetapi juga menghadirkan solusi bagi umatnya dan bahkan seluruh manusia. Islam bukan agama individualis, tetapi agama yang rahmatan lil ‘alamin.